Manusia memiliki sifat untuk dapat bertahan hidup dan menginginkan kesejahteraan dalam prosesnya. Oleh karena itu terjadilah pembangunan ekonomi yang dibiayai oleh eksploitasi alam secara masif. Salah satu contoh yang sangat jelas yaitu penggunaan bahan bakar dengan sumber fosil seperti minyak bumi dan batu bara. Sebenarnya masih banyak pembiayaan pembangunan ekonomi yang berasal dari alam seperti pemanfaatan hasil hutan seperti kayu ataupun pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan yang mengakibatkan pengurangan kawasan hutan atau biasa disebut dengan deforestasi. Penggunaan hasil alam yang tidak dapat tergantikan secara terus-menerus untuk meningkatkan kesejahteraan manusia memberikan dampak negatif bagi keberlangsungan manusia yang akan datang untuk dapat bertahan hidup.
Kesadaran akan kondisi tersebut menjadi alasan utama munculnya konsep pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987 menurut Bruntland Report dan dikukuhkan pada tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil yang kemudian dilanjutkan pada Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan, dikenal juga sebagai Rio 2012 atau Rio+20 pada tahun 2012 di kota yang sama. Konsep pembangunan berkelanjutan mengedepankan lingkungan supaya generasi yang akan datang tetap dapat melanjutkan kehidupan yang lebih baik (Borowy, 2014). Prinsip dari konsep pembangunan itu sendiri adalah bagaimana caranya supaya dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia saat ini tanpa mengorbankan kelangsungan hidup generasi yang akan datang (Kates, Parris & Leiserowitz, 2005) dan secara umum, ada tiga faktor yang menjadi perhatian yaitu bagaimana memperbaiki (faktor) lingkungan dengan tetap memperhatikan pertumbuhan (faktor) ekonomi dan memberikan keadilan (faktor) sosial (Blewitt, 2015; Sachs, 2015).
Fokus konsep pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan lingkungan memancing beberapa penelitian untuk mulai berargumen bahwa lingkungan tidak hanya terbatas pengertiannya pada alam tetapi juga budaya (Magee, Scerri, James, Thom, Padgham, Hickmott, Deng, Cahill, 2013). Oleh karenanya, beberapa penelitian lanjutan menyarankan bahwa kegiatan pariwisata merupakan salah satu tindakan yang tepat untuk melakukan pembangunan berkelanjutan (Mowforth & Munt, 2015; Xu & Fox, 2014). Pariwisata tidak hanya dapat menyelamatkan lingkungan, namun juga dapat melestarikan budaya sebuah peradaban (Weng & Yang, 2016). Kegiatan pariwisata adalah kegiatan sosial yang didominasi pergerakan manusia baik sebagai subjek maupun objeknya. Dalam kata lain, kegiatan pariwisata melibatkan manusia sebagai penyedia jasa pelayanan wisata sampai manusia sebagai pengguna jasa wisata tersebut. Oleh karena itu, sebuah daerah yang berhasil menjadi sebuah destinasi pariwisata pada umumnya memiliki kualitas penduduk yang lebih baik karena mereka dapat mengolah dan mengelola potensi sumber daya alam dengan baik, tepat, efisien dan optimal, tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan (Smith, 2012). Menilik beberapa tahun yang lalu, maka hal ini menjadi sebuah alasan yang wajar ketika Indonesia memiliki sebuah Kementerian Pariwisata yang digabungkan dengan ekonomi kreatif. Dengan demikian, kualitas penduduk yang baik diharapkan dapat menciptakan keseimbangan dan keserasian antara jumlah penduduk dengan kapasitas dari daya dukung alam dan daya tampung lingkungan (Ningrum, 2012).
Namun demikian, keberhasilan pariwisata untuk meningkatkan kesejahteraan manusia memberikan euforia bagi semua destinasi wisata khususnya destinasi wisata yang memanfaatkan alam seperti wisata pantai, gunung dan hutan. Sifat dasar manusia yang konsumtif ditunjang dengan lemahnya konsep pariwisata untuk menjaga lingkungan ternyata juga dapat memberikan andil bagi kerusakan lingkungan (alam dan budaya) (Mason, 2015). Hal ini bisa dilihat dari dampak negative yang diberikan kegiatan pariwisata misalnya kerusakan alam di Bromo Tengger Semeru (Syah & Lee, 2017) ataupun dampak negatif budaya seperti pesta alkohol di beberapa lokasi wisata alam di Negara Asia yang tidak tepat bagi budaya timur (Hall & Page, 2016).
Dampak negatif yang disebabkan kegiatan pariwisata masal pun ternyata menyebabkan pariwisata tidak dapat abadi dan bisa habis karena kegiatan manusia. Oleh karena itulah muncul sebuah pemikiran bahwa pariwisata juga harus dilakukan secara berkelanjutan supaya generasi yang akan datang masih dapat merasakan manfaatnya. Ada beberapa paradigma untuk melakukan pariwisata berkelanjutan antara lain slow travel; perjalanan tanpa menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil khususnya menghindari penggunaan pesawat dan mobil, agritourism, ataupun pro-poor tourism; wisata yang menekankan pada pengentasan kemiskinan. Salah satu alternatif lain untuk mengimplementasikan pariwisata berkelanjutan yaitu dengan cara memberikan ‘win-win solution’ antara kegiatan wisata dan konservasi lingkungan yang dikenal dengan nama ekowisata (Wood, 2012). Menurut Holden dan Fennell (2012), ekowisata didefinisikan sebagai sebuah kegiatan wisata alam yang berkelanjutan, memberikan dampak yang rendah kepada lingkungan, tidak konsumptif, berorientasi lokal dan mengutamakan konservasi lingkungan namun tetap memberikan kesempatan bagi manusia untuk melakukan aktifitas rekreasi. Namun demikian, konsep ekowisata itu sendiri masih diperdebatkan terutama sejauh mana ekowisata dapat meminimalisir dampak negatif bagi lingkungan, bagaimana cara mengukurnya dan apakah ekowisata juga dapat dikaitkan dengan budaya (Honey, 2008). Namun yang jelas, ekowisata masih dipercaya sebagai alternatif pariwisata berkelanjutan dan kata ‘ekowisata’ semakin luas dipergunakan untuk menggambarkan sebuah sensasi maupun mempromosikan destinasi terutama yang berkaitan dengan lingkungan (alam) (Rhama, 2017).
Bagaimana dengan kepariwisataan Kota Palangka Raya yang berkelanjutan? Apakah konsep ekowisata juga dapat diimplementasikan sebagai salah satu langkah nyata membangun kepariwisataan yang berkelanjutan? Diskusi di atas telah menyatakan bahwa konsep ekowisata masih dalam perdebatan dan dapat diartikan secara berbeda. Konsep ekowisata yang muncul dari negara barat bisa saja tidak sama dengan konsep ekowisata di Indonesia meskipun sama-sama berorientasi kepada lingkungan. Batasan lingkungan sendiri pun bisa saja diperluas tidak hanya alam, tetapi budaya dan fisik seperti bangunan bersejarah. Semua itu tergantung dari kesepakatan pemahaman konsep ekowisata dari semua stakeholder khususnya di Kota Palangka Raya. Namun yang pasti, kegiatan pariwisata dalam kerangka ekowisata adalah sebuah kegiatan pariwisata berkelanjutan atau dengan kata lain sebuah kegiatan pariwisata yang bisa memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan juga generasi yang akan datang. Kota Palangka Raya telah memiliki modal kegiatan wisata seperti sungai, hutan dan kekayaan flora dan fauna yang tidak dimiliki daerah lain. Tinggal bagaimana memanfaatkannya secara terus-menerus dalam jangka panjang, tanpa mengorbankan dan menghabiskan alam, sehingga penting kiranya bagi stakeholder untuk tidak hanya memperhatikan kondisi fisik pariwisata, tetapi juga melakukan langkah tepat untuk meningkatkan kualitas penduduknya melalui pendidikan terkait kepariwisataan supaya muncul kreatifitas dan produktifitas dalam rangka memanfaatkan alam secara optimal dan bijaksana.
Salam Pariwisata Indonesia!..