Ini adalah tulisan lama saya untuk menyemangati diri saya sendiri. Sepertinya juga sudah pernah saya kirimkan ke salah satu media cetak di Kalteng tetapi tidak dimuat. Maklum saja tulisan saya juga enggak bagus-bagus amat, hanya bisa dinikmati kalau lagi nganggur yang amat sangat menganggur…selamat menikmati (ngobrol pada diri sendiri…)…:
Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan persiapan untuk ujian akhir perkuliahan sampai kemudian sadar dengan mulai penuhnya mahasiswa baru di perpustakaan tempat saya menghabiskan waktu menulis dan membaca, banyak mahasiswa baru dengan wajah segar, ceria dan peach (kata Belle anak saya: ‘kulit bule itu peach, bukan putih’). Ini berarti bahwa tahun ajaran baru untuk memulai perkuliahan sudah dimulai.
Biasanya saat ini juga merupakan masa yang berbahagia bagi sebagian masyarakat di Indonesia khususnya bagi yang baru memulai kuliah di universitas-universitas. Kebahagian itu tidak hanya dimiliki oleh pelakunya sebagai mahasiswa tetapi juga bagi orang tuanya. Kegiatannya masih banyak diisi dengan selfie atau posting di media sosial dengan menunjukkan jaket almamater yang memperlihatkan kejelasan status sebagai individu berpendidikan dan memiliki masa depan yang indah karena sesuai track (mungkin?..).
Sekolah tinggi, minimal memperoleh gelar sarjana, untuk mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik memang masih menjadi paradigma umum yang dipegang masyarakat Indonesia. Semakin cepat dapat gelar formal pendidikan, semakin cepat pula kemungkinan mendapatkan kesempatan hidup lebih baik (sampai ada kasus jual beli ijasah pendidikan). Fenomena ini memperlihatkan bahwa dunia pendidikan menjadi sebuah alat legalitas kompetensi dan sekaligus identitas bagi individu. Padahal belum tentu individu yang memiliki gelar pendidikan tinggi bisa bekerja lebih baik dibandingkan individu dengan gelar pendidikan standar (baca: lulusan SMK).
Ada kata mutiara yang saya ‘Amini’ selama menggeluti dunia pendidikan, ‘semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah’. Saya menyadari bahwa bahwa keberhasilan masa depan tidak hanya ditentukan karena kita belajar di institusi pendidikan, tapi juga ketika kita belajar dalam pergaulan di masyarakat. Adalah salah kaprah ketika menganggap masa depan hanya ditentukan oleh gelar pendidikan formal. Saya juga pernah membaca artikel Rhenald Kasali yang mengatakan bahwa 80 persen belajar adalah non formal sehingga sebenarnya untuk mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik tidak hanya melalui sekolah formal. Orang tua saya juga bercerita bahwa belajar di sekolah memang merupakan salah satu jalan untuk memperoleh kehidupan lebih baik. Namun, karena biaya sekolah dan kehidupan yang mahal pada saat itu maka mereka pun harus ngenger (Jawa: menumpang hidup pada orang yang dianggap lebih mampu). Dalam posisi ngenger itu mereka harus menjadi bagian keluarga pemilik rumah dan ikut membantu semua kegiatan yang dilakukan pemilik rumah. Situasi ini memperlihatkan bahwa orang jaman dulu (generasi kelahiran 1940-1950) juga menerima tanggung jawab lain selain belajar di sekolah. Proses inilah yang mungkin agak terlupakan di jaman sekarang. Mahasiswa-mahasiswa tinggal di rumah kost ataupun rumah kontrak sehingga tidak ada ikatan tanggung jawab lagi terhadap lingkungannya.
Sejatinya mahasiswa harus lebih ditekankan untuk belajar menjadi diri sendiri (mandiri) dan tidak tergantung orang tua lagi. Budaya masyarakat Indonesia yang kolektifistik memang masih memperlihatkan sulitnya orang tua melepas anak mengenal dirinya sendiri sehingga kemandirian anak lebih sulit tercapai dibandingkan budaya barat yang individual. Orang tua terlalu kuatir tentang keadaan anaknya dan berusaha memberikan yang terbaik kepada anak tanpa batasan sehingga cenderung memanjakan. Perilaku ini berimbas pada kondisi mental mahasiswa, dan sebagai contoh sederhana yang banyak saya alami dari mahasiswa saya yaitu ketika saya bertanya ‘siapa kamu?’, maka ilustrasi jawaban yang sering saya dengar misalnya: ‘Saya Amir pak, anak Pak Tanu. Ayah saya PNS menjabat sebagai kepala..dst..’ Kondisi ini menggambarkan si mahasiswa belum mengenal dirinya dan belum lepas dari bayang-bayang orangtuanya. Orang tua boleh mengarahkan tetapi tidak intervensi berlebihan, apalagi sampai mengintervensi proses pendidikannya hanya agar anak mendapatkan nilai mata kuliah yang maksimal. Orang tua sebaiknya memberikan kebebasan yang bertanggung jawab karena mereka sudah bukan anak-anak lagi dan ini saatnya bagi mereka untuk mengenal potensi dirinya sendiri serta mengembangkannya.
Bekerja adalah salah satu proses belajar di masyarakat yang merupakan hal yang paling sederhana untuk menunjukkan kesungguhan dan keinginan. Menjadi mahasiswa sembari bekerja, entah dibayar atau tidak, akan memberikan pengalaman yang berharga. Bagi mahasiswa dengan latar belakang yang mampu, bekerja dapat dilakukan dengan membantu secara sukarela orang yang diidolakannya. Tidak perlu muluk-muluk mengidolakan seseorang, bisa saja orang terdekat yang dipandang berhasil dan memberikan manfaat bagi lingkungannya. Bagi mahasiswa yang kurang mampu bisa mencari pekerjaan yang dapat membantu keuangan selama kuliah asal didapatkan dengan halal. Mahasiswa tidak usah malu bekerja, jadi penjaga toko juga boleh. Kemampuan untuk bekerja menunjukkan sebuah komitmen, karena umumnya, individu yang memiliki komitmen positif lebih berhasil daripada orang pintar secara kognitif.
Gelar sarjana itu baik tetapi proses bagaimana mahasiswa membentuk diri dan mendapatkannya secara positif itu lebih penting. Mendapatkan gelar pendidikan Sarjana (S1), Magister (S2) ataupun Doktor (S3) itu mudah, apalagi mungkin sampai saat ini masih ada yang menawarkan secara instan. Namun kita kembalikan lagi apakah kuliah digunakan untuk berproses atau hanya untuk mencari gelar sebagai alat legalitas kompetensi?
Saya sendiri juga sebentar lagi selesai belajar di universitas, tetapi proses belajar yang sesungguhnya di masyarakat sudah menanti dan tidak akan pernah berhenti. Jangan pernah berhenti untuk berproses dan belajar menjadi diri sendiri sehingga berguna bagi masyarakat. Karena kalau belajar hanya untuk mencari gelar, beberapa kawan sering menyindir saya: ‘Bhayu, kamu itu sekolah jauh-jauh sekolah S3, padahal di Indonesia banyak dan sekarang mudah didapat, jangankan S1, S2 atau S3, mau beli S7 juga bisa dibeli di gerai-gerai Hape terdekat!!..’ (gagal fokus!!..)
Selamat belajar dan berkarya!!…