Beberapa waktu ini Indonesia mengalami perubahan alam yang cukup ekstrem khususnya bencana erupsi Gunung Agung di Bali yang menyebabkan turunnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 4,5% pada bulan Oktober 2017 dibandingkan bulan sebelumnya (Mustami dan Winarto, 2017). Meskipun demikian, Bali sebagai ujung tombak pariwisata Indonesia telah siap untuk melakukan recovery yang salah satu caranya dengan menggelar Festival Nusa Penida sebagai penanda bahwa Bali sudah aman untuk dikunjungi (Angriyana, 2017). Kesiapan tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari pengalaman masyarakat dan pemerintah Bali untuk melakukan recovery (memulihkan kepada kondisi normal) pariwisata terhadap bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu (baca: peristiwa Bom Bali).
Secara alamiah, sebenarnya pariwisata memiliki sifat me-recovery dirinya sendiri dengan jalan memberikan kesempatan kepada manusia untuk memanfaatkan segala situasi yang ada. Bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada tahun 2010 yang menimbulkan puluhan korban jiwa dan luka akhirnya menjadi destinasi wisata Lava tour yang banyak dikunjungi wisawatan domestik. Demikian juga dengan bencana lumpur di Sidoarjo Jawa Timur yang terjadi tahun 2006 telah menjadi sebuah daya tarik wisata dengan alasan kunjungan yang beraneka ragam (Wiwoho, 2016). Masih banyak contoh-contoh lain di dunia dimana bencana ataupun konflik pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata. Misalnya konflik status Kota Yerusalem yang isunya diperuncing oleh Presiden Trump beberapa hari ini bukannya menghindarkan kunjungan ke kota tersebut tetapi justru dapat meningkatkan kunjungan karena adanya peningkatan rasa ingin tau wisatawan terhadap kota yang dipandang suci oleh Bangsa Yahudi, Kaum Nasrani dan Masyarakat Muslim. Kondisi yang awalnya tidak menguntungkan (seperti bencana dan konflik kemanusiaan) pada akhirnya mendorong munculnya wisata minat khusus seperti tour gempa bumi ke Sichuan-Cina, tour spot penembakan Presiden John F. Kennedy di Dallas-Amerika Serikat, Museum Genosida (pembantaian manusia) di Tuol Sleng-Kamboja, tour genosida di Rwanda, tour genosida oleh Nazi di Desa Oradour-sur-Glane Perancis. Minat khusus di atas kemudian menjadi sebuah wilayah penelitian pariwisata bagai para akademik yang dikategorikan sebagai wisata kelam atau dark tourism (Stone, 2006). Pengunjung yang datang mengunjungi destinasi wisata kelam tentu memiliki alasan masing-masing dimana semuanya bisa diakomodir oleh pihak-pihak terkait di destinasi tersebut, terutama dengan pendekatan storytelling (unsur sejarah dan cara bercerita) yang menjadi kekuatan utama dibalik kegiatan di wisata kelam tersebut.
Namun demikian, mengolah sebuah bencana menjadi kegiatan pariwisata tentu tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintah dan kedewasaan masyarakat setempat untuk membuka diri terhadap kunjungan wisatawan. Pemerintah (baca: CEO pemerintahan/kepala daerah) harus siap dalam merencanakan kebijakan publik untuk mendukung sektor pariwisata yang tidak dilakukan secara reaktif / spontanitas, tetapi direncanakan untuk berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Masyarakat setempat juga harus memahami bahwa wisatawan datang untuk melihat sebuah perbedaan yang dapat digunakan untuk melengkapi keunikan dunia yang semakin jelas terlihat dan terbuka lebar bagi siapa saja.
Dengan sifat alamiah pariwisata untuk me-recovery sebuah daerah, tepatlah jika pariwisata menjadi salah satu metode untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Selain itu pariwisata juga memiliki nilai optimisme seperti yang diperlihatkan pada kasus-kasus dimana bencana ataupun konflik pasti bisa dilalui bahkan pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi manusia. Oleh karena itu, sifat pariwisata yang bersahabat dan optimisme dengan semua situasi bagaikan melihat segala sesuatu dengan menggunakan kacamata mawar. Sebuah frasa yang dikenalkan oleh Tom Brown di Oxford pada tahun 1861 untuk menggambarkan individu yang selalu memiliki perilaku bahagia dan optimis sehingga lingkungannya selalu terlihat penuh warna dan menarik. Dengan kacamata mawar dari pariwisata, semua tantangan pembangunan yang dihadapi pasti memiliki nilai positif yang akan mendorong kemajuan sebuah daerah dan memberikan banyak manfaat bagi masyarakat yang ada tanpa mengabaikan kelangsungan generasi berikutnya.
Semoga kacamata mawar dari pariwisata semakin membuka optimisme Bangsa Indonesia dan Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya untuk melanjutkan pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang. Selamat menyambut tahun baru 2018 bagi masyarakat Indonesia.