Diferensiasi atau keunikan adalah faktor utama keberhasilan sebuah produk dalam pemasaran (Tampi, 2016). Namun demikian, faktor keunikan menjadi lebih luas dan masuk ke dalam semua sendi kehidupan sehingga dapat sebagai modal untuk menjanjikan kualitas yang lebih baik (Firdaus dan Sudaryanto, 2017). Bukankah kita diberi nama oleh orang tua agar kita berbeda? Apa jadinya kalau nama Bhayu Rhama diberikan kepada beberapa manusia di dalam satu wilayah? Pasti membingungkan orang lain, sehingga kalau saat ini Shakespeare bertanya pada saya ‘Apalah arti sebuah nama?’, saya tegas menjawab bahwa nama memiliki arti, unik dan menjadi identitas yang penting.
Demikian juga dalam bidang pariwisata. Dalam setiap kesempatan diskusi khususnya tentang pariwisata, saya juga selalu berusaha menyampaikan bahwa pariwisata harus memiliki keunikan sehingga dapat menjadi sebuah identitas. Pertanyaan sederhana seperti: mengapa harus mengunjungi tempat ini dan bukan ke tempat lain; kenapa saya harus menggunakan jasa anda dan bukan yang lain; kenapa saya harus membayar fasilitas yang diberikan?; dan pertanyaan sejenis lainnya selalu saya sampaikan supaya destinasi wisata menemukan perbedaan dan keunikan yang dimiliki serta kemudian menjadi identitas penting (jati diri) jika dibandingkan dengan tempat wisata yang lain.
Kondisi alam pada umumnya menjadi modal utama untuk menjadi sebuah pembeda bagi destinasi wisata yang sulit ditiru. Modal pariwisata yang paling tua dan diterima secara global yaitu sea, sun dan sand (3s) sampai dengan saat ini masih perkasa untuk menarik wisatawan sehingga beberapa daerah yang memiliki kawasan pantai kemudian berusaha mengekspos potensi 3s yang dimiliki dan daerah tersebut rata-rata berhasil memajukan pariwisatanya.
Namun, bagaimana dengan daerah yang tidak memiliki pantai? Sebuah peribahasa mengatakan tidak ada rotan, akar pun jadi. Tidak ada laut, sungai pun harus bisa diolah menjadi daya tarik wisata. Pada umumnya, daerah yang berada di daratan masih memiliki sungai. Air sebagai komponen utama dalam konteks ‘sea’ (laut) dapat digantikan dengan ‘river’ atau sungai. Dengan kreativitas, tentu saja kegiatan yang terkait dengan ‘sea’ masih dapat dilakukan di sungai. Dengan kata lain, alam yang dalam hal ini adalah sungai masih dapat menjadi modal utama untuk menjadi pembeda bagi sebuah destinasi wisata asalkan dikemas dengan unik.
Sebagai contoh, beberapa hari lalu, saya diundang oleh sahabat dari Borneo Escape Palangka Raya untuk mencoba kegiatan wisata yang dilakukan di Sungai Rungan. Kegiatan wisata itu adalah paddle board atau dalam bahasa sederhananya adalah mendayung papan yang serupa dilakukan oleh Ibu Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia di Kepulauan Natuna beberapa waktu lalu (Intaniar, 2019). Beliau juga dengan gagahnya menantang Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, untuk lomba paddle board dimana Mark Zuckerberg sendiri juga pernah memamerkan keahliannya melakukan paddle board di Lake Tahoe (Fachriansyah, 2019). Mengutip catatan Aini (2019) dan berdasarkan informasi dari situs http://www.paddleboardthrills.com, kegiatan paddle board adalah olahraga air populer yang dilakukan di laut terbuka. Orang-orang menggunakan lengan mereka sambil berbaring, berlutut atau berdiri di atas papan dayung atau papan selancar untuk berenang dan mendorong ke depan. Dalam perkembangannya, paddle board dilakukan dengan kombinasi aktivitas kayak (karena menggunakan dayung) dan berselancar (karena papan selancar yang digunakan). Olahraga ini juga mudah dipelajari dan memiliki komunitas tersendiri sehingga potensinya untuk menjadi sebuah daya tarik wisata juga besar.
Berdasarkan diskusi di atas maka paddling umum jika dilakukan di laut, namun tidak pernah dilakukan di perairan sungai. Uniknya, kegiatan paddling yang saya ikuti tempo hari dilakukan di Sungai Rungan yang merupakan salah satu sungai besar selain Sungai Kahayan di Kota Palangka Raya. Awalnya saya sedikit ragu dengan aktivitas ini, namun setelah dijelaskan oleh Mahrus dan Ririn (Direktur Borneo Escape) bahwa olahraga ini aman dan memiliki prosedur standar keamanan, maka saya dapat menikmati susur Sungai Rungan dengan cara yang tidak biasa (berbeda) dan unik mulai dari Desa Sei Gohong sampai Dermaga Tangkiling. Olahraga paddle board sangat memungkinkan untuk menjadi salah satu daya tarik wisata Sungai Rungan yang dapat diunggulkan dan menjadi pembeda susur sungai di Kalimantan Tengah, khususnya di Kota Palangka Raya. Apalagi kegiatan ini menyerap sumber daya manusia dari masyarakat lokal yang tidak sedikit dalam aktivitasnya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola bersama-sama dengan stakeholder termasuk pemerintah. Lagipula, siapa tau akan ada masyarakat Kalimantan Tengah yang nantinya menjadi ahli paddling dan berani menantang Ibu Susi Pudjiastuti lomba paddle board dengan imbalan juaranya mendapat kapal ikan alih-alih saham di Facebook.
Aktivitas pariwisata dalam bentuk apapun yang mengeksploitasi alam (baca: sungai) secara berkelanjutan akan sangat baik bila didukung oleh pemerintah daerah karena sungai adalah sebuah identitas unik yang sulit ditiru oleh daerah lain dan bisa digunakan untuk menunjukkan keunggulan dan rekognisi global.
Salam Pariwisata!…