Travel Agent dan Wartel, serupa tapi tak sama?

Berita di Bali Post yang mengutip pernyataan Menteri Pariwisata cukup membuat banyak pihak terkejut. Beliau dalam sebuah acara di ITB Bandung mengatakan bahwa nasib travel agent konvensional (yang tidak menggunakan teknologi digital) akan serupa dengan wartel (warung telekomunikasi) yang berjaya di tahun 1990-an dan kemudian musnah karena kemajuan teknologi khususnya disebabkan adanya telepon genggam (handphone).

Namun demikian yang perlu didiskusikan dari pernyataan Pak Menteri adalah apakah sifat bisnis travel agent sebagai penyedia jasa pariwisata sama dengan bisnis wartel sebagai penyedia akses pelayanan telekomunikasi? Mari kita diskusikan secara bersama-sama. Wartel adalah sebuah usaha yang menyediakan akses pelayanan telepon dan faksimili kepada masyarakat (Hill dan Sen, 1997). Dan menurut teori Porter, menghilangnya bisnis wartel di Indonesia disebabkan karena ada ancaman yang tidak dapat dihindari yaitu adanya produk pengganti, dalam hal ini munculnya handphone.

Beralih ke bisnis travel agent, sebenarnya secara luas ada dua konsep bisnis yang dijalankan dalam bisnis travel agent. Yang pertama yaitu sebagai Biro Perjalanan Wisata yang memiliki definisi perusahaan yang mengatur dan mengadakan perjalanan (trip atau travel) bagi orang-orang yang bisa dilakukan dengan cara mengemas beberapa potensi wisata menjadi sebuah produk wisata atau lebih dikenal dengan paket tour (Damardjati, 2001; Pendit, 1990). Yang kedua yaitu sebagai Agen Perjalanan Wisata, adalah perusahaan perantara yang menyediakan jasa untuk mengurus perjalanan bagi orang-orang dengan cara menawarkan produk wisata yang telah siap jual.

Oleh karena itu terdapat definisi travel agent yang sedikit rancu dari pernyataan Pak Menteri disini yaitu apakah beliau menyebut travel agent dalam koridor sebagai biro perjalanan wisata atau sebagai agen perjalanan wisata.  Apalagi ketika beliau mengambil contoh dengan membandingkan aset perusahaan perjalanan wisata A (sebagai agen perjalanan wisata) dengan perusahaan B atau C (sebagai biro perjalanan wisata) tentu saja hal ini seperti membandingkan buah jeruk dan apel. Namun demikian, tentu saja hal ini berdasarkan pengamatan saya dimana produk utama perusahaan A adalah penjualan tiket dan kamar hotel secara massif sedangkan kedua perusahaan yang terakhir sebagian besar (utama) adalah menjual paket tour serta masih menjalankan paket tournya secara mandiri.

Pada umumnya booming online travel agent (OTA) dalam hal ini sebagai agen perjalanan wisata hanya mengandalkan penjualan tiket pesawat dimana konsepnya adalah memudahkan orang-orang untuk membeli tiket pesawat. Namun demikian, perlu disadari bahwa konsep bisnis dengan mengandalkan penjualan tiket pesawat atau hotel ini juga memiliki resiko tinggi karena harus berhadapan langsung dengan maskapai penerbangan dan perhotelan yang juga memiliki fasilitas penjualan online.

Oleh karena itu, travel agent sebagai Biro Perjalanan Wisata masih tetap memiliki keunggulan khususnya pada pengemasan paket wisata, aplikasinya di lapangan dan tentu saja pelayanan after service. Kompetensi (pemahaman pariwisata) sumber daya manusia yang telibat untuk memberikan pelayanan tentu penting untuk bisa ditingkatkan. Apalagi budaya Indonesia yang memiiki interaksi sosial yang tinggi (Malahayati dan Ramdhan, 2010) tentu menjadikan sentuhan manusia dalam pelayanan pariwisata menjadi hal yang esensial khususnya bagi wisatawan domestik.

Selain itu, dunia pariwisata global masih rutin menyelenggarakan travel mart (pertemuan para pelaku dalam industri pariwisata) yang artinya peran travel agent sebagai intermediary / perantara masih diperlukan untuk memfasilitasi konsumen dengan berbagai macam produk wisata. Tidak seperti bisnis wartel yang hilang karena perannya sebagai perantara terhapuskan oleh hadirnya handphone yang memudahkan konsumen untuk menelpon. Tapi tentu saja travel agent tetap harus waspada terhadap perkembangan teknologi digital, khususnya yang menawarkan konsep ‘open trip’ (jasa perorangan untuk mengemas paket wisata dan menjualnya melalui media sosial) dimana semua orang dapat berperan menjadi sebuah travel agent tanpa harus memiliki badan usaha.

Dengan demikian, pernyataan Pak Menteri yang menyatakan bahwa travel agent akan mati kalau tidak berubah bisa saja keluar karena passion beliau ada dalam dunia digital sehingga membandingkan travel agent dengan wartel. Dari perspektif positif, tentu Pak Menteri ingin usaha travel agent di Indonesia maju mengikuti perkembangan teknologi dan pemasarannya harus melibatkan media digital, namun demikian perlu juga disadari bahwa aspek teknologi tidak serta merta menjadi hal yang sangat penting. Bisnis pariwisata adalah bisnis pelayanan yang tidak hanya mengandalkan mesin. Dengan demikian, peran travel agent, khususnya sebagai Biro Perjalanan Wisata yang membuat dan menjual paket wisata tidak akan musnah seperti bisnis wartel. Memang benar bahwa pengembangan digital itu penting tetapi pengembangan sumber daya manusia pariwisata itu esensial.

Salam pariwisata Indonesia.

 

 

 

 

Leave a comment