Pariwisata Kalimantan Tengah di Peta Ekowisata Dunia

Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti Konferensi Ekowisata di Italia tepatnya pada tanggal 23-25 Oktober 2018 di Kota Florence. Tema konferensinya adalah ‘Critial Issues in Heritage Interpretation and Sustainable Tourism Conference 2018’. Saya bisa hadir di konferensi tersebut setelah berhasil lolos melalui proses seleksi yang ketat dan lama. Selain artikel yang saya kirimkan harus memenuhi syarat yang diminta panitia konferensi, saya juga harus dapat menyakinkan panitia melalui proposal tersendiri bahwa presentasi yang akan dilakukan tersebut layak didengar dan dapat memberikan pesan mendalam sehingga berpengaruh luas kepada masyarakat, paling tidak kepada peserta konferensi. Selain artikel dan metode presentasi, tentu saja ada harus ada sponsor untuk keberangkatan tersebut yang pada kesempatan ini diberikan oleh Universitas Palangka Raya.

Setelah menempuh penerbangan selama 29 jam dengan pesawat Cathay Pasific (termasuk waktu tunggu/transit) dimulai dari Palangka Raya, Jakarta, Hongkong, Milan dan ditambah 2 jam perjalanan dengan kereta api (Milan-Florence) tibalah saya Kota Florence yang dinobatkan sebagai kota yang dilindungi oleh UNESCO (lembaga yang membidangi kota warisan dunia di bawah PBB). Kota Florence adalah kota wisata di Italia yang terkenal, tidak hanya karena menjadi lokasi utama pengambilan film ‘Inferno’ yang dibintangi Tom Hanks dan Felicity Jones, namun kota ini juga dikenal dengan sejarahnya yang penting sebagai kota yang memulai abad Renaisans (Renaissance) di Benua Eropa yang ditandai dengan gerakan budaya (seperti sastra, filsafat, seni, musik, bahkan politik, ilmu pengetahuan, agama, dan aspek lain di bidang intelektual) dengan menggunakan metode humanis yang sangat mempengaruhi kehidupan intelektual Eropa pada abad awal periode modern. Kota ini juga melahirkan pemikir-pemikir terkenal seperti Leonardo da Vinci (ilmuwan pelukis ‘Jamuan Terakhir’ dan ‘Monalisa’), Donatello (seniman yang mempengaruhi seni arsitektur) dan Michaelangelo (Seniman pembuat ‘Patung Pietà’ / Patung Bunda Maria Menangis dan ‘Patung David’ / Raja Daud).

Mungkin alasan inilah yang dipilih untuk menjadikan Florence sebagai lokasi konferensi yang bertema warisan sejarah sebagai bagian pariwisata berkelanjutan. Lokasi konferensi sendiri berada di Hotel Duomo yang tepat berada di pusat kota yang dekat dengan Piazza del Duomo (Lapangan Katedral Florence) sebagai salah satu penanda unik lokasi Kota Florence. Ribuan wisatawan di sekitar lokasi hotel membuktikan betapa terkenalnya Kota Florence dan juga sebagai bukti penting bahwa sejarah adalah salah satu modal utama untuk mengembangkan pariwisata. Hotel Duomo juga ditempati oleh pusat organisasi ‘Life Beyond Tourism’ yang memiliki visi dan misi untuk mengedukasi wisatawan untuk memahami lokasi wisata dengan cara hidup seperti orang lokal, atau dengan kata lain, memahami kehidupan di tengah-tengah masyarakat lokal adalah inti dari pariwisata, bukan hanya sekedar ‘selfie’ kemudian menguploadnya supaya ‘status’ berubah dan mendapat banyak ‘like’, kemudian pindah ke destinasi wisata lainnya. Sebuah visi dan misi yang pasti diperdebatkan oleh generasi millennial. Organisasi ‘Life Beyond Tourism’ juga mensponsori kegiatan konferensi ekowisata internasional ini yang diikuti oleh 40 presenter dari seluruh dunia termasuk saya dari Indonesia.

Adapun tema presentasi yang saya sampaikan saat itu adalah ‘The Challenges for Kalimantan-Borneo in the Global Ecotourism Map’ atau Tantangan Kalimantan-Borneo untuk masuk dalam peta ekowisata dunia. Mengapa saya menyebut Kalimantan-Borneo? Karena Pulau Borneo lebih dikenal secara global dibandingkan dengan kata Pulau Kalimantan yang hanya dikenal di Indonesia. Beruntunglah Provinsi Kalimantan Tengah karena secara pragmatis boleh diinterpretasikan dengan bahasa global sebagai ‘the Central Borneo’, namun tidak demikian dengan Kalimantan Utara yang tidak bisa diterjemahkan secara pragmatis ke ‘North Borneo’ karena masih ada Brunei Darussalam dan Malaysia (Sabah) di ujung Utara Pulau Kalimantan.

Dalam presentasi, saya mengangkat cerita mengapa Kalimantan ‘jarang’ (menghindari kata tidak pernah) masuk dalam daftar destinasi ekowisata di dunia yang dirilis beberapa lembaga pemeringkat ekowisata seperti Trips to Discover, MSN, Mother Nature Network, Eternal Arrival, Tripping dan Every Steph? Singkat cerita, hasil penelitian yang saya sampaikan melalui presentasi/artikel menginformasikan bahwa Kalimantan memiliki kendala kurangnya penyampaian informasi kepada dunia sebagai tujuan destinasi ekowisata disebabkan penggunaan bahasa internasional sebagai faktor utama penghambatnya. Sebenarnya, Pemerintah Republik Indonesia telah mengangkat Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dalam pendidikan, namun demikian, Pemerintah Indonesia juga bekerja keras untuk membuat Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dari 652 bahasa lokal di seluruh Indonesia (Kemendikbud, 2018). Kurangnya komunikasi dengan menggunakan bahasa internasional dalam kehidupan sehari-hari membuat penyampaian informasi ekowisata di Kalimantan kepada dunia menjadi rendah. Padahal kemampuan menggunakan bahasa internasional atau bahkan bahasa dari negara lain sangat menunjang keberhasilan sebuah promosi. Sebagai informasi, Perusahaan Agoda sebagai platform penyedia hotel hampir di seluruh dunia menyediakan 40 bahasa untuk memudahkan konsumen memahami informasi yang disampaikan sesuai dengan bahasa mereka masing-masing.

Penggunaan bahasa internasional (baca: Bahasa Inggris) bisa dimulai dari lingkungan masing-masing mulai dari lingkungan yang kecil, misalnya lingkungan keluarga, sekolah, teman bermain dan bahkan lingkungan kerja. Pemerintah melalui dinas terkait bisa menciptakan sebuah kondisi praktis supaya penggunaan bahasa internasional menjadi sebuah kebiasaan, misalnya dengan menciptakan desa terapung berbahasa Inggris atau Floating English Village dengan mengadopsi dan memodifikasi dari Kampung Pare di Kediri. Penggunaan bahasa internasional bukan lagi merupakan hal yang mewah dan terlihat menyombongkan kemampuan komunikasi namun sudah menjadi sebuah kebutuhan untuk menjadi bagian dari masyarakat global.

Solusi agar bahasa internasional bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari tentu saja mudah dikatakan daripada dilakukan. Apalagi sudah banyak para pakar yang menyatakan bahwa komunikasi adalah salah satu faktor penting pemasaran. Potensi ekowisata Kalimantan Tengah yang luar biasa akan sia-sia apabila tidak dapat ‘dipamerkan’ ke  daerah lain yang memiliki minat terhadap alam seperti masyarakat di Benua Eropa. Semoga pemerintah daerah memahami tantangan untuk memasyarakatkan bahasa internasional sehingga ekowisata Kalimantan Tengah dapat masuk dalam daftar destinasi ekowisata dunia.

Salam Pariwisata Indonesia!..

One thought on “Pariwisata Kalimantan Tengah di Peta Ekowisata Dunia

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s