Menulis dengan hati

Sebentar lagi saya akan kembali pada aktivitas mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Palangka Raya. Pengalaman 4 tahun melanjutkan studi selama ini tentu sangat berarti khususnya mengingatkan kembali akan pentingnya kegiatan menulis.

Apakah ada yang suka/tidak suka, tertarik/tidak tertarik dengan tulisan yang dibuat, kita khususnya saya, harus tetap fokus melanjutkan kegiatan menulis karena menulis tidak dapat dipisahkan dari kegiatan membaca dan juga merupakan adalah salah satu cara untuk menginformasikan ide/gagasan. Selain itu, kedisiplinan menulis juga merupakan contoh kegiatan akademik yang bisa saya berikan pada mahasiswa.

Menulis harus dipaksa, dibiasakan dan disiplin karena rasa malas menjadi tantangan terbesar dalam menulis termasuk saya pun sering mengalami hal tersebut. Seperti saat ini, kalau boleh memilih, saya lebih memilih menonton film ‘Doctor Strange’ via streaming di internet daripada menulis topik ini. Tapi saya sadar apabila saya memilih menonton film tersebut maka ide untuk menulis yang saya dapatkan saat bekerja sampingan sebagai ‘hygiene operator’ alias tukang sapu kemarin sore akan lenyap bersamaan dengan selesainya film tersebut. Apalagi belum tentu tulisan yang kita kirimkan dianggap layak dimuat, seperti halnya beberapa tulisan yang pernah saya kirimkan ke beberapa media masa dan jurnal ilmiah publikasi juga pernah tidak diterbitkan. Saya juga tidak tahu apakah tulisan ini akan dimuat atau tidak karena sudah bukan menjadi tugas penulis lagi untuk menilai baik buruknya tulisan yang dibuat.

Kedisiplinan dalam menulis seperti mengasah pisau, membuat kita lebih jernih dalam memahami masalah sehingga dapat memberikan pendapat yang masuk akal. Namun, seperti yang saya informasikan sebelumnya, tentu saja saya punya beberapa tulisan yang pernah tidak dipublikasikan karena dianggap tidak layak atau belum sesuai dengan keinginan pembaca. Untuk menghibur diri, tulisan tersebut saya anggap saja menulis cerita dongeng sebelum tidur untuk putri saya karena setiap saya bacakan mereka langsung tertidur, mungkin karena tidak paham dan membosankan.

Saya teringat pesan Mohammad Sobary, seorang sastrawan penulis buku ‘Kang Sejo Melihat Tuhan’, dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa seseorang dianggap intelektual bukan karena pendidikan doktornya tetapi karena pemikirannya dapat menggambarkan keindahan yang ada di langit kepada masyarakat di bumi atau dengan kata lain, pemikirannya memberikan penjelasan pada masyarakat secara bijaksana baik melalui perbuatan atau tulisan. Jadi semua orang  yang mau menulis dan tulisannya memberikan pencerahan bagi orang lain tentu saja bisa menjadi kaum intelektual, tidak harus dari kalangan akademisi.

Salah satu contoh intelektual muda yang saya kagumi adalah Abah Abdul Hamid. Beliau adalah seorang dosen di Unversitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten dan belum lama mendapatkan gelar doktor di bidang politik dari Doshisha Universitas di Jepang. Abah Hamid demikian dia sering dipanggil tentu tidak mengenal saya, tapi beliau adalah kaum intelektual berdasarkan kriteria Mohammad Sobary, bukan karena gelar doktornya atau tulisannya tentang perpolitikan di Serang atau bahkan di di Asia Tenggara. Namun tulisannya tentang serba-serbi dosen dan keluarganya secara tidak langsung telah memberikan semangat dan pencerahan bagi para dosen yang cupu (kurang pengalaman) seperti saya tentang pentingnya peran seorang dosen menjalankan tridharma pendidikan, terutama dalam hal menulis. Apalagi beliau memiliki gelar akademisi doktor, maka lengkaplah gelar beliau sebagai kaum intelektual sejati, bukan seperti saya yang masih masuk dalam kategori kaum jelata.

Tentu saja menulis juga memerlukan pengetahuan, tetapi tidak harus melalui pendidikan formal, bisa saja didapatkan melalui pengalaman. Saya jadi teringat pesan ibu semasa sekolah; Beliau berkata: ‘orang yang menguasai informasi akan menguasai dunia’. Mungkin ibu saya dulu berharap saya menjadi Larry Page dan Sergey Brin pendiri Google, atau Mark Zuckerberg pendiri Facebook, tapi ternyata meleset sedikit bukan menjadi penguasa dunia tetapi menjadi akademia, ya paling tidak sama-sama berakhiran -ia. Dan dalam perjalanannya pesan itu bagi saya bermetamorfosa menjadi ‘knowledge is power but character is more’, pengetahuan itu penting tetapi karakterlah yang akan menentukan kebahagiaanmu. Tidak ada gunanya pengetahuan yang luas apalagi ketika diperoleh secara formal sehingga memperoleh gelar akademik tinggi, tapi karakternya tidak bijaksana baik melalui perbuatan maupun tulisan. Oleh karena itu, menulis menggunakan ilmu pengetahuan itu penting tapi lebih penting menulis dengan hati. Jangan sampai pengetahuan yang dimiliki justru menghambat diri sendiri untuk menulis tentang hal lain atau bahkan tidak menulis karena kuatir kehilangan pengakuan akan sebuah keahlian dalam bidang tertentu.

Seperti ucapan seorang motivator yang sudah pensiun: ‘Menulis itu baik, jadi jangan batasi dirimu untuk menulis hanya yang sesuai dengan bidangmu. Percayalah bahwa tulisan yang dibuat dengan hati yang bebas akan membuka pintu dan ide baru bagi dunia. Itu!…’

One thought on “Menulis dengan hati

  1. Pingback: Bertemu sensei Abah | Bhayu Rhama

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s